Rukyatulhilal Versus Hisab
Oleh: Ibadurrahman
“Penyakit
orang-orang 'muda' yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu
keislaman, adalah
mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang yang
mereka dapatkan dari satu orang syaikh. Mereka membatasi diri dalam satu
madrasah dan tidak bersedia mendengar pendapat lainnya atau mendiskusikan
pendapat-pendapat lain yang berbeda dengannya,” Kata Yusuf al-Qaradhawi.
Tidak
lama lagi kita akan kembali kedatangan bulan suci Ramadhan. Seperti biasa
sebelum Ramadhan tiba,
umat muslim di Indonesia mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu dari persiapan fisik, mental, dan
lain sebagainya. Disamping
itu, kejadian yang hampir setiap tahun kita saksikan menjelang ramadhan adalah
perbedaan penentuan awal ramadhan dan juga akhir ramadhan di berbagai kalangan. Mulai dari
ahli agama hingga masyarakat awam,
ramai memperbincangkan hal ini.
Terdapat
dua metode yang umum dikenal masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul
Fitri, yaitu
rukyatulhilal dan hisab. Rukyatulhilal
adalah aktivitas penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan mengamati hilal.
Apabila hilal tidak terlihat,
maka genapkanlah bulan
Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari. Sedangkan hisab menggunakan metode perhitungan atau
astronomis untuk mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum. Metode
ini sekurang-kurangnya terdapat
empat obyek yaitu, hisab
arah kiblat, hisab waktu-waktu shalat, hisab awal bulan Kamariah, dan hisab
gerhana matahari dan bulan. Dua metode ini yang dipakai oleh
dua organisasi masyarakat besar di Indonesia, yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Perbedaan metode
yang digunakan, menyebabkan perdebatan hampir setiap tahunnya. Permasalahan
yang sering kali
timbul, banyak orang yang tidak bisa menerima perbedaan dan beranggapan bahwa
pendapatnya yang paling benar dan pendapat yang lain salah. Ini budaya dari
tahun ke tahun menjelang Ramadhan yang harus dihilangkan.
Perbedaan
pandangan yang berkaitan dengan permasalahan agama sudah bukan hal
yang asing lagi. Sejak dahulu
di kalangan para sahabat pun demikian. Tidak hanya pada suatu hal yang masih mengandung
keraguan, bahkan pada hal-hal yang bersifat qath’i
masih ada saja yang mempermasalahkan. Seperti kewajiban sholat lima waktu, menutup aurat, dan lain sebagainya.
Alangkah
baiknya jika kita mempelajari lebih dalam dua metode tersebut, agar tidak hanya
mengikuti suatu pendapat, tetapi juga tahu dalil dan dasar yang digunakan dalam
rukyatulhilal dan hisab.
Perlu
kita pahami, rukyatulhilal yang digunakan oleh NU dan hisab oleh Muhammadiyah sama-sama
mempunyai dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadis. Dasar yang
digunakan dalam rukyat diantaranya adalah hadis Rasulullah SAW: "Berpuasalah kamu ketika
melihat bulan—Ramadhan—dan berbukalah kamu ketika melihat bulan—Syawal. Maka
jika mendung atau terhalang awan sehingga kalian tidak dapat melihat, hendaklah
sempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.”(HR.Bukhori).
Sedangkan
dalil hisab diantaranya Alquran
surat Yunus
ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah
yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun,
dan perhitungan—waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan
benar. Dia menjelaskan tanda-tanda—kebesaran-Nya—kepada orang-orang yang
mengetahui”.
Dua dalil di atas
merupakan salah satu contoh di antara
beberapa dalil lainnya yang dijadikan dasar hukum. Para penganut metode
rukyatulhilal, mengikuti
contoh yang dilakukan nabi dan para sahabat terdahulu berdasarkan hadis sahih
di atas dengan
melihat bulan. Sedangkan yang menggunakan hisab beranggapan, bahwa perintah
pada hadis itu adalah perintah berilat—beralasan. Ilatnya
adalah karena orang dahulu belum
bisa baca tulis, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukannya hisab. Berbeda
halnya sekarang, dengan kemajuan zaman dan teknologi yang begitu pesat,
sehingga dimungkinkannya untuk melakukan hisab.
Terlepas
dari pandangan dan penafsiran masing-masing pihak, sudah sepatutnya kita tetap
menghargai perbedaan dan menjaga ukhuwah islamiah antar sesama. Poin pentingnya adalah tidak saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar.
Karena rukyatulhilal maupun hisab mempunyai dasar hukum masing-masing. Saling
menyalahkan satu sama lain, hanya akan
mengotori hati dan membuat ibadah kita di bulan Ramadhan terganggu. Lebih baik
kita saling mengingatkan kepada yang tidak berpuasa untuk berpuasa, serta lebih
meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam beribadah, terutama di bulan
Ramadhan.
Sudah ada pakar dan para ulama yang
lebih kompeten dalam menentukan masalah ini, baik dari
ahli agama, astronomi, dan lain-lain. Tetapi ini
bukan alasan untuk tidak memahami masalah
rukyatulhilal dan hisab. Kita tetap dituntut untuk belajar, menggali, dan
kemudian mengamalkan apa yang kita yakini benar. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran surat al-Isra ayat 36: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya”.
Baik rukyatulhilal atau hisab insya Allah
kedua-duanya benar. Justru terkadang yang paling ribut menyalahkan adalah
mereka yang puasanya masih jarang, yang ibadah dan sholat malamnya di bulan
Ramadhan hanya semangat diawal, dan baca Alquran beserta
tadarusnya hanya sesekali.
Oleh
karena itu, dalam menyambut tamu agung nan istimewa bulan suci Ramadhan,
marilah kita bersama-sama membersihkan hati dan pikiran. Saya yakin, setiap
orang menginginkan adanya kekompakkan dan keseragaman dalam mengawali dan
mengakhiri puasa. Semoga kita semua dapat meyikapi perbedaan ini dengan bijak
dan meletakkannya di dalam
bingkai ukhuwah islamiah, amin.