Rabu, 02 Desember 2015

Untuk Apa Kau beribadah ?



Untuk apa kau beribadah ? Sholat dan puasa.

Untuk apa ? Karena kau mencintai Tuhan ? atau hanya karena ada ancaman neraka dan imbalan surga ?
Jika kau benar-benar mencintai Tuhan maka kau akan menyembah-Nya tanpa pamrih.

Lantas jika surga dan neraka tidak ada, apakah kau masih menunaikan sholat 5 waktu ? Jika setelah kematian tidak ada hari pertanggungjawaban, apakah kau masih rela menahan lapar dan haus hingga maghrib ?

Jawablah pertanyaan ini dan kau akan tau sebesar apa cintamu kepada Tuhan !

Saya teringat dengan perkataan salah satu Sufi Perempuan bernama Rabiatul Adawiyah. Ia mengatakan “Ya Allah jika aku beribadah kepada-Mu hanya karena menginginkan surga-Mu maka tutuplah rapat-rapat pintu surga untukku. Dan jikalau aku beribadah karena takut akan neraka-Mu, maka lemparkanlah aku ke dalam neraka”

Woman in Library



Saya tertarik dengan wanita yang duduk persis satu garis sejajar di depan, namun berbeda meja. Dari sekian banyak orang di perpustakaan siang itu, sepasang mata kecil ini seakan mengangkat beban yang sangat berat untuk beralih pandangan ke lain orang. Hanya ke wanita itu, hanya satu fokus. Dia tidak putih dan tidak juga dilengkapi dengan make up tebal dan aksesoris-aksesoris mahal. Hanya satu cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Namun entah kenapa dia seperti kutub magnet utara dan aku kutub magnet selatan. Ia dapat menarikku dengan sangat kuatnya.

Tumpukan buku-buku tebal di depannya membuat saya semakin tertarik. Karena kecerdasan wanita adalah salah satu kecantikan utama. Ya memang saya tidak tahu dia pintar atau tidak. Tapi paling tidak terlihat usaha tulus darinya untuk belajar.

Wajah manis yang dibalut dengan hijab hitam. Tahi lalat persis di tengah hidungnya yang kecil dan bibir mungil dengan lipstik merah yang tidak terlau cerah . OH MY GOD. Pertemukanlah saya kembali suatu saat dengan dia Tuhan, Amin.

Sabtu, 28 November 2015

Freedom Writers

Film                 : Freedom Writers
Sutradara       : Richard LaGravenese
Genre              : Drama
Durasi             : 122 menit

“Tidak masalah apa ras kita, apa latar belakang etnis, orientasi seksual, atau apa pandangan yang kita punya, kita semua manusia. Sayangnya, tidak semua manusia melihat seperti itu.”- Erin Gruwell, The Freedom Writers Diary.

Oleh: Ibadurrahman*

Film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang guru yang mengajar pada sebuah sekolah bernama Woodrom Wilson di New Port Beach, Amerika Serikat. Film ini berasal dari kumpulan catatan harian para murid yang berhasil dibukukan dan dipublikasikan pada tahun 1999 dengan judul The Freedom Writers Diary. Hillary Swank yang berperan sebagai Erin Gruwell adalah seorang guru bahasa Inggris yang berjuang meruntuhkan tembok-tembok rasisme pada anak-anak korban perkelahian antar kelompok ras.

Hari pertama Erin mengajar di sekolah itu, ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di dalam kelas mereka duduk berdasarkan kelompok ras masing-masing, yang kemudian memicu rasa sentimen dan perkelahian akhirnya terjadi. Mereka berkelahi karena perbedaan ras, kebanggaan, wilayah, dan rasa hormat. Tidak ada semangat dan niat sama sekali dari murid-murid untuk belajar, juga tak ada rasa hormat sedikitpun kepada Erin sebagai guru. Pada dasarnya, mereka memang membenci ras kaukasoid atau berkulit putih sebagaimana Erin.

Berbagai usaha telah Erin lakukan untuk mempersatukan perbedaan ras di antara mereka. Suatu ketika Erin memberikan buku jurnal harian kepada setiap murid. Erin meminta untuk menuliskan apa saja yang mereka inginkan, rasakan, alami ataupun menceritakan masa lalu mereka. Satu per satu mereka mulai menuliskan kisahnya di buku harian tersebut, kemudian dari situlah Erin perlahan mengetahui latar belakang keluarga dan cerita masa lalu mereka. Sikap kasar dan perilaku buruk para murid terjadi karena kehidupan masa kecil mereka yang keras. Tidak sedikit teman-teman dari para murid itu menjadi korban penembakan oleh anggota geng dari ras berbeda dan ada pula yang ayahnya ditangkap oleh polisi kulit putih padahal tidak pernah melakukan salah sedikitpun. Diskriminasi ras tidak bisa dihindarkan.

Erin juga memberikan buku catatan harian Anne Frank kepada para muridnya. Anne Frank adalah seorang anak Yahudi yang hidup di zaman Hitler. Setelah itu, dia memberi tugas untuk menulis surat kepada Miep Gies, wanita yang menolong Anne Frank. Namun, para murid meminta Erin secara langsung mendatangkannya untuk menjadi pembicara. Biaya yang mahal membuat mereka harus mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Mereka mengumpulkan uang dengan berjualan makanan dan mengadakan kontes tari hingga akhirnya berhasil mendatangkannya. Miep Gies menceritakan kepada murid-murid tentang peristiwa yang terjadi karena rasisme.

Sebagai guru, Erin telah mengorbankan banyak hal. Mulai dari waktu, keuangan, perasaan, hingga keluarganya. Masalah dari orang-orang sekitarnya juga datang silih berganti. Seperti konflik batin dengan guru-guru di sekolah, ayahnya sendiri, hingga hubungan dengan suaminya yang berakhir perceraian. Berbagai metode pembelajaran dan pendekatan kepada murid-murid juga telah dia lakukan. Namun semua pengorbanannya bukanlah tanpa hasil. Anak-anak didiknya mulai berubah. Hidup mereka jauh lebih baik dan teratur. Kini mereka mampu menghormati dan menghargai Erin sebagai guru. Erin juga telah berhasil membawa mereka keluar dari belenggu hitam masa lalu. Dia berhasil memberi pemahaman akan pentingnya sebuah pendidikan. Erin sukses menyadarkan bahwa masa depan mereka akan jauh lebih cerah dari masa lalu yang kelam karena kekerasan dan pertikaian. Ayahnya yang awalnya tidak setuju kini sangat mendukung dan memuji Erin sebagai guru yang luar biasa.

Diskriminasi ras yang begitu kental telah berevolusi menjadi tali persaudaraan yang erat. Tembok-tembok rasisme yang kokoh berhasil diruntuhkan. Murid-murid yang sebelumnya saling membenci dan menyimpan rasa dendam antar kelompok, kini akrab seakan tidak pernah terjadi permusuhuan diantara mereka.

Freedom Writers mengajarkan bahwa perbedaan ras dan etnis seharusnya bukan dijadikan alasan untuk permusuhan dan jurang pemisah antar sesama. Rasisme hanya menimbulkan masalah-masalah sosial dan membuat kehidupan tidak harmonis. Toleransi harus diutamakan agar tercipta kedamaian. Perlu disadari bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, rasisme tidak relevan lagi karena yang dibutuhkan untuk membangun suatu bangsa adalah pedidikan, bukan warna kulit atau latar belakang ras. Diharapkan dengan kesadaran tentang rasisme, masyarakat bisa menghargai satu sama lain.

Salah satu hal yang paling membanggakan dari murid-murid Erin adalah mereka mampu menjadi 
orang pertama dalam keluarga yang dapat lulus sekolah menengah atas dan melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Mengikuti jejak beberapa siswanya, Erin meninggalkan sekolah Wilson guna mengajar di Universitas Negeri California. Dia bersama para murid yang sekaligus adalah penulis, mendirikan yayasan Freedom Writers. Erin Gruwell memiliki sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang, “Bahwa kami bukan sekedar anak-anak lagi di ruang kelas. Kami penulis dengan suara kami sendiri, cerita kami sendiri”.

Film ini mengandung pesan moral yang baik dan dapat menginspirasi bagi para penonton. Pemain dari Freedom Writers juga mendalami peran mereka masing-masing dengan baik. Sehingga membuat film menjadi lebih hidup dan menarik penonton masuk ke dalam cerita. Sayangnya, film ini memiliki alur yang cenderung datar dan menampilkan beberapa adegan kekerasan disertai kata-kata yang kurang pantas. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, Freedom Writers termasuk film yang sangat disarankan untuk ditonton. Selain karena diangkat dari sebuah kisah nyata, film ini juga memberikan banyak pembelajaran.

Jumat, 09 Oktober 2015

The darkness to the Lightness

Suara ombak. Ya suara ombak yang membangunakan saya pagi hari ini. Bukan suara adzan seperti biasanya, karena memang tidak ada masjid disekitar sini. Rasa ngantuk karena waktu tidur yang minim dan rasa dingin dikarenakan angin laut yang berhembus ke darat, semua pupus ketika memandang lepas ke arah pantai.


Gelapnya malam tadi hilang bersamaan dengan terbitnya matahari dari timur. Gelap pekat yang membuat pemandangan laut semalam tidak kelihatan, kini berganti menjadi cerah. Seperti kata ibu kita Kartini “Habis gelap terbitlah terang”.
Ya, sama seperti halnya dalam hidup. Tidak melulu soal kesedihan dan kegelapan. Pasti ada fase dimana terang itu muncul. Terkadang ketika terang sudah muncul pun kita masih mengeluh. Selalu membandingkan apa yang kita punya dengan orang lain.
Bisa jadi sebenarnya hidup orang lain yang kita bandingkan itu lebih sulit dan banyak cobaan. Hanya saja mereka tidak mengeluh. Banyak hal-hal kecil yang kalau kita syukuri dapat membawa kebahagiaan.


Jadi masalahnya bukan gelap ataupun terang. Tapi bagaimana cara pandang kita atas keduanya. Kuncinya adalah bersyukur.

Sabtu, 05 September 2015

Indahnya Pesantren



Lonceng di sore hari berbunyi. Ribuan santri terlihat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sebagian mengantri untuk mandi dengan sesekali berteriak menggunakan bahasa arab seakan memberi sinyal kepada yang berada didalam untuk tidak berlama-lama. Dan sebagian lagi mulai berjalan pergi ke masjid dengan membawa kitab suci Al-qur’an yang diletakkan di dada mereka dan peci hitam yang membuat mereka terlihat lebih gagah. Ketika adzan maghrib berkumandang hampir tidak ada lagi santri yang tidak duduk tenang dimasjid, kecuali beberapa kakak pengurus yang mondar-mandir untuk mengontrol keadaan sekitar. Ini hanya sebagian kecil dari kedisiplinan para santri yang saya lihat ketika berkunjung ke pondok modern Gontor putra di Jawa Timur.

Di malam hari selepas isya, hampir setiap hari selalu ada kegiatan bagi para santri. Muhadharah (pidato berbahasa arab/inggris) , program bahasa ataupun kegiatan ekstrakurikuler seperti bela diri, olahraga basket dan yang lainnya. Suara mereka yang lantang ketika berpidato membuat saya kagum, meskipun ketika itu saya tidak mengerti sama sekali isinya. Bagaimana anak berumur belasan tahun dapat berbicara lancar dengan bahasa arab dan inggris, bagaimana santri yang masih duduk dibangku Aliyah telah mampu meyampaikan pesan-pesan agama dengan lugas.

Budaya yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan remaja seumuran mereka diluar sana. Mulai dari cara berpakaian, disipilin waktu, semangat menuntut ilmu, beribadah dll. Banyak yang mengatakan bahwa hidup di pesantren itu norak, ketinggalan jaman dan terlalu tradisional. Padahal mereka tidak sadar dalam beberapa aspek kehidupan, pesantren jauh lebih baik. Kehidupan pesantren lebih teratur dan disiplin.

Subuh hari dikala orang diluar sana masih terlelap, para santri disini sudah bersiap untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Bergegas menggunakan sarung, memakai baju koko, dan peci hitam khas pondok Modern Gontor tentunya. Sebelum subuh, para santri telah memenuhi masjid untuk menunaikan ibadah sholat sunnah dua rakaat sebelum subuh yang katanya kebaikannya melebihi dunia dan seisinya. Kemudian selepas subuh mereka membaca ayat-ayat suci Al-quran secara bersama-sama. Betapa indahnya lantunan, fasihnya bacaan, dan sempurnanya tajwid dalam bacaan mereka. Seketika saya teringat anak-anak seumuran mereka dikampung saya yang duduk dibangku SMP maupun SMA. Para remaja dikampung saya belum tentu bisa membawakan bacaan Al-qur’an seperti itu.

Setiap pagi disajikan pemandangan para santri yang berpakaian rapi, dengan baju yang dimasukkan, ikat pinggang hitam dipinggang mereka, dan semua seragam menggunakan sepatu hitam yang membuat mereka terlihat kompak. Ketika bel masuk berbunyi hampir tidak ada lagi batang hidung yang terlihat, kecuali beberapa pengurus yang mengontrol keadaan dengan menggunakan sepeda ontel. Fasilitas sepeda diberikan karena luas wilayah pondok itu sendiri yang terbilang luas. Tapi tidak semua santri bisa menggunakannya.

Dari sini kita bisa melihat betapa banyak sisi positif dalam kehidupan pondok pesantren. Ketika remaja diluar hidup bebas tak terkontrol, ketika para anak muda diluar terjerumus dalam kegiatan-kegiatan maksiat, para santri pondok pesantren justru sibuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Melihat realita yang ada kita dapat tahu, bahwa kehidupan di pesantren tidak lebih ketinggalan jaman daripada kehidupan para remaja diluar. Bahkan pemikiran dan akhlak mereka sudah beberapa langkah didepan. Mungkin kebebasan mereka sedikit terbatasi ketika didalam pondok, tetapi semua itu akan terasa hasil dan manfaatnya dimasa depan.


Rabu, 17 Juni 2015

RukyatulHilal dan Hisab


Rukyatulhilal Versus Hisab
Oleh: Ibadurrahman
“Penyakit orang-orang 'muda' yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu keislaman, adalah mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang yang mereka dapatkan dari satu orang syaikh. Mereka membatasi diri dalam satu madrasah dan tidak bersedia mendengar pendapat lainnya atau mendiskusikan pendapat-pendapat lain yang berbeda dengannya, Kata Yusuf al-Qaradhawi.

 Tidak lama lagi kita akan kembali kedatangan bulan suci Ramadhan. Seperti biasa sebelum Ramadhan tiba, umat muslim di Indonesia mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu dari persiapan fisik, mental, dan lain sebagainya. Disamping itu, kejadian yang hampir setiap tahun kita saksikan menjelang ramadhan adalah perbedaan penentuan awal ramadhan dan juga akhir ramadhan di berbagai kalangan. Mulai dari ahli agama hingga masyarakat awam, ramai memperbincangkan hal ini.
            Terdapat dua metode yang umum dikenal masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu rukyatulhilal dan hisab. Rukyatulhilal adalah aktivitas penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan mengamati hilal. Apabila hilal tidak terlihat, maka genapkanlah bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari. Sedangkan hisab menggunakan metode perhitungan atau astronomis untuk mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum. Metode ini sekurang-kurangnya terdapat empat obyek yaitu, hisab arah kiblat, hisab waktu-waktu shalat, hisab awal bulan Kamariah, dan hisab gerhana matahari dan bulan. Dua metode ini yang dipakai oleh dua organisasi masyarakat besar di Indonesia, yakni Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Perbedaan metode yang digunakan, menyebabkan perdebatan hampir setiap tahunnya. Permasalahan yang sering kali timbul, banyak orang yang tidak bisa menerima perbedaan dan beranggapan bahwa pendapatnya yang paling benar dan pendapat yang lain salah. Ini budaya dari tahun ke tahun menjelang Ramadhan yang harus dihilangkan.
            Perbedaan pandangan yang berkaitan dengan permasalahan agama sudah bukan hal yang asing lagi. Sejak dahulu di kalangan para sahabat pun demikian. Tidak hanya pada suatu hal yang masih mengandung keraguan, bahkan pada hal-hal yang bersifat qath’i masih ada saja yang mempermasalahkan. Seperti kewajiban sholat lima waktu, menutup aurat, dan lain sebagainya.
            Alangkah baiknya jika kita mempelajari lebih dalam dua metode tersebut, agar tidak hanya mengikuti suatu pendapat, tetapi juga tahu dalil dan dasar yang digunakan dalam rukyatulhilal dan hisab.
            Perlu kita pahami, rukyatulhilal yang digunakan oleh NU dan hisab oleh Muhammadiyah sama-sama mempunyai dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadis. Dasar yang digunakan dalam rukyat diantaranya adalah hadis Rasulullah SAW: "Berpuasalah kamu ketika melihat bulan—Ramadhan—dan berbukalah kamu ketika melihat bulan—Syawal. Maka jika mendung atau terhalang awan sehingga kalian tidak dapat melihat, hendaklah sempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.”(HR.Bukhori).
Sedangkan dalil hisab diantaranya Alquran surat Yunus ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan—waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda—kebesaran-Nya—kepada orang-orang yang mengetahui”.
            Dua dalil di atas merupakan salah satu contoh di antara beberapa dalil lainnya yang dijadikan dasar hukum. Para penganut metode rukyatulhilal, mengikuti contoh yang dilakukan nabi dan para sahabat terdahulu berdasarkan hadis sahih di atas dengan melihat bulan. Sedangkan yang menggunakan hisab beranggapan, bahwa perintah pada hadis itu adalah perintah berilatberalasan. Ilatnya adalah karena orang dahulu belum bisa baca tulis, sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukannya hisab. Berbeda halnya sekarang, dengan kemajuan zaman dan teknologi yang begitu pesat, sehingga dimungkinkannya untuk melakukan hisab.  
            Terlepas dari pandangan dan penafsiran masing-masing pihak, sudah sepatutnya kita tetap menghargai perbedaan dan menjaga ukhuwah islamiah antar sesama. Poin pentingnya adalah tidak saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar. Karena rukyatulhilal maupun hisab mempunyai dasar hukum masing-masing. Saling menyalahkan satu sama lain, hanya akan mengotori hati dan membuat ibadah kita di bulan Ramadhan terganggu. Lebih baik kita saling mengingatkan kepada yang tidak berpuasa untuk berpuasa, serta lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam beribadah, terutama di bulan Ramadhan.
            Sudah ada pakar dan para ulama yang lebih kompeten dalam menentukan masalah ini, baik dari ahli agama, astronomi, dan lain-lain. Tetapi ini bukan alasan untuk tidak  memahami masalah rukyatulhilal dan hisab. Kita tetap dituntut untuk belajar, menggali, dan kemudian mengamalkan apa yang kita yakini benar. Sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran surat al-Isra ayat 36: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
            Baik rukyatulhilal atau hisab insya Allah kedua-duanya benar. Justru terkadang yang paling ribut menyalahkan adalah mereka yang puasanya masih jarang, yang ibadah dan sholat malamnya di bulan Ramadhan hanya semangat diawal, dan baca Alquran beserta tadarusnya hanya sesekali.
            Oleh karena itu, dalam menyambut tamu agung nan istimewa bulan suci Ramadhan, marilah kita bersama-sama membersihkan hati dan pikiran. Saya yakin, setiap orang menginginkan adanya kekompakkan dan keseragaman dalam mengawali dan mengakhiri puasa. Semoga kita semua dapat meyikapi perbedaan ini dengan bijak dan meletakkannya di dalam bingkai ukhuwah islamiah, amin.